Advertisement
Tangis Haru di Pelepasan AKP Jan Piter Napitupulu dari Polsek Percut Sei Tuan
Langit siang itu seakan ikut berduka. Di halaman Mako Polsek Percut Sei Tuan, deretan personel kepolisian berdiri tegap, namun sorot mata mereka tak bisa menyembunyikan kesedihan.
Sosok yang selama ini memimpin mereka, AKP Jan Piter Napitupulu, perlahan melangkah meninggalkan tempat yang telah menjadi bagian dari hidupnya.
Matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar saat ia berdiri di hadapan anggotanya dan para pejabat Muspika Kecamatan Percut Sei Tuan. Dengan tulus, ia menyampaikan permintaan maaf. “Jika ada kesalahan dan kekurangan dalam kepemimpinan saya yang kurang berkenan di hati, saya mohon maaf,” ucapnya, air mata jatuh membasahi pipinya.
Keheningan menyelimuti suasana. Beberapa anggota menundukkan kepala, tak kuasa menahan haru. Kepergian sang pemimpin ini terjadi setelah pencopotan jabatannya, buntut dari penetapan seorang pedagang sayur—yang diduga menjadi korban penganiayaan—sebagai tersangka.
Langkahnya semakin menjauh, meninggalkan rekan-rekannya yang masih berdiri di tempat, seolah tak rela melepasnya. Tak ada lagi seragam, tak ada lagi jabatan, hanya seorang pemimpin yang berpamitan dengan hati yang berat.
Di balik pintu gerbang yang perlahan tertutup, seorang rekan membisikkan lirih, “Terima kasih atas pengabdianmu, Komandan...”**
(Vona Tarigan)